Rasulullah Sudah jelas Jelas Melarang Praktek Nikah Mut'ah, karena jelas banyak madhorot di dalamnya. “Wahai
manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan wanita.
Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki
wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikit pun dari apa yang
telah kamu berikan kepada mereka,” (HR. Muslim)
Kisah Nyata Efek Buruk Mengamalkan Ajaran Sesat Nikah Mut'ah ala Syiah
Simaklah kisah nyata berikut ini, mengenai betapa praktek nikah mut'ah mencederai kejernihan hati seorang wanita yang ingin menjadi shalihah. Berkat doktrin sesat yang mengatakan nikah mut'ah adalah bentuk ibadah, dia justru sangat dirugikan semoga bisa diambil hikmahnya.
Simaklah kisah nyata berikut ini, mengenai betapa praktek nikah mut'ah mencederai kejernihan hati seorang wanita yang ingin menjadi shalihah. Berkat doktrin sesat yang mengatakan nikah mut'ah adalah bentuk ibadah, dia justru sangat dirugikan semoga bisa diambil hikmahnya.
Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter
spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil
membawa hasil laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari
sebelumnya.
Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air
kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina
(vagina discharge).
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak
tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita
Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk
badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri
melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu
per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya
tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung.
Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan
penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Dipojok ruang
sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta
kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menapat pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya
ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan
kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara
sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang
dibawa pasiennya.
Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang
mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin
orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit
itu, penyakit yang hanya mengenai orang yang sering berganti-ganti
pasangan seksual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamsese lagi secara cermat.
# “Saudari masih kuliah?”
# “Masih Dok”
# “Semester berapa?”
# “Semester tujuh Dok”
# “Fakultasnya?”
# “Sospol”
# “Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terkahir itu yang kaget.
Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
# “Kok dokter tahu?”
# “Aah,…….. tidak, hanya barang kali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya
seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan
lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
# “Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?”
Pasien terkahirnya itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan
pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu.
Dengan jengkel dia menjawab.
# “Ada apa sih Dok …. Kok tanya macam-macam?”
# “Aah enggak,… barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
Pasien terkahir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu.
Dengan agak kesal ia menjawab:
# “Saya dari Pekalongan”
# “Kost-nya?”
# “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
# “Di kampus sering mengikuti kajian islam yaa”
# “Ya, … kadang-kadang Dok!”
# “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien itu menatap dokter Hanung.
# “Bang Jalal siapa?”
Tanyanya dengan nada agak tinggi.
# “Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia… kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
# “Ya,…. kadang-kadang saja saya ikut”
# “Di Pekalongan,… (sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang terkahir itu, tetapi dia segera menjawab
# “Tidak! Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?”
Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-tanyaan
dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung
manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga
bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.
Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,
# “Begini saudari, saya minta maaf atas
pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab
pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari
derita,…”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar
perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa
yang akan di lontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
# “Sebenarnya saya amat terkejut dengan
penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti
mengidap penyakit seperti ini”
# “Sakit apa Dok?”.
Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.
# “Melihat keluhan yang anda rasakan serta
hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang
disebabkan hubungan seksual”.
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
# “Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar
keterangan dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan
harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.
Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang
akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi.
Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama
seperti sore ini.
Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu
tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia
terkejut mendengar jerit pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin
tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget
dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis
pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang
biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak.
Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang
sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang
pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang
terakhirnya sore hari itu.
Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga
menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan
bahwa dirinya biasa kawin mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah
terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung
ini.
Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal
mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini
dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang
menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah di Pekalongan.
Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya.
# “Bagaimana saudari,… penyakit yang anda
derita ini tidak mengenali kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti
pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah
seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahami dan
semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah, … atau mungkin ada
kemungkinan lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat
muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan
lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban
pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil
pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai
menangani pasien terakhirnya itu.
# “Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya!” katanya terbata-bata.
# “Terserah saudari,… tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
# “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan
saya selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
# “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,… tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian
terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi
barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter
itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui
dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.
# “Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali
ada yang salah,… sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap
penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”.
# “Tidak dokter,… selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut
tuntunan syari’at islam,… saya tetap tidak percaya dengan analisa
dokter!”.
Dokter Hanung mengerutkan keningnya men-dengar jawaban pasien terakhirnya itu.
Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang
kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada
orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi
analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh
paiennya.
Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi….
# “Barangkali anda biasa kawin mut’ah?”
Pasien terakhir itu mengangkat muka.
# “Iya dokter!”
# “Apa maksud dokter?”
# “Itukan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!”
# “Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok!”
Pasien terakhir itu membela diri
# “Ooo,… jadi begitu,… kalau dari tadi anda
mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda.
Tegasnya anda ini pengikut Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan
mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan.
Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
# “Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at
Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan
dalih-dalih medis”.
Sampai disini dokter Hanung terdiam.
Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan
yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya
aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.
# “Terserah apa kata saudari membela diri,….
Anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko anda akan berkubang
dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh
jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang
sangat mengerikan itu,…..atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah
dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan”.
# “Ma…maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.
# “Begini saudari,…tidak ada gunanya resep
saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan
yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti
akan bersikap sama,…sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak
bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
# “Ba…BBaik Dok,…Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
# “Berapa Dok?”
# “Tak usahlah,…saya sudah amat bersyukur
kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada
cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep
saja”.
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
# “Terimah kasih Dok,…permisi!”
Perempuan itu kembali melangkah satu-satu di peralatan rumah Dokter Hanung.
Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya.
Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di
telan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran di sore itu.
"Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." ... (QS. Az-Zukhruf : 43)
Sumber : Buku Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Hal.254-256, dikutip dari ASA edisi 5, 1411 H
0 comments:
Post a Comment
Udah Baca? Tinggalkan komentarmu dong di bawah sini :). Komentar yang sesuai tema artikelnya tapi ya, kami nggak mentolerir Spam. :)