Selamat Datang

Islam For Newbie Berbagi informasi religius islam semoga bisa diambil manfaatnya.
Home » » Siapa Bilang Nikah Mut'ah beda dengan Praktek Pelacuran?

Siapa Bilang Nikah Mut'ah beda dengan Praktek Pelacuran?

Written By Anjrah Susanto on Sunday, August 18, 2013 | 7:40 AM

ADA banyak persamaan antara Pernikahan Mut'ah dan Perzinaan.

Dan perbedaannya hanya pada akad nikah yang mensyaratkan adanya wali, saksi dan akad dan syarat lainnya, sementara Perzinaan tidak perlu ada saksi dan wali, tinggal tawar dan bayar.

Bahkan seringkali tanpa ada pembayaran, asal kedua belah pihak suka sama suka, maka mereka berdua bisa langsung berzina tanpa syarat apa pun.


Lantas, bagaimana dengan nikah Mut’ah yang dianut oleh kaum Syi’ah? 

Seorang Syi’ah akan terus bersikukuh kalau nikah mut’ah adalah halal dan dibenarkan dalam Islam, adanya. Namun, para ulama yang berdiri dari Barat sampai Timur sudah sepakat bahwa Syi’ah itu bukan salah satu madzhab dalam Islam, melainkan sesuatu yang berdiri sendiri. 
Jadi ibaratnya, orang tidak akan sah melakukan shalat, sedangkan dia belum mengucapkan syahadat.

Berikut ini adalah (katanya) perbedaan antara nikah Mut’ah dan pelacuran yang dikutip dari sumber Syi’ah sendiri.


1. Nikah Mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita, begitu juga Pelacuran.

Kita simak lagi sabda Abu Abdillah :
Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang di Mut’ah adalah Wanita Sewaan.
Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa nikah Mut’ah adalah bentuk lain dari Pelacuran, karena Imam Abu Abdillah terang-terangan menegaskan status wanita yang di nikah Mut’ah : mereka adalah Wanita Sewaan.


 2. Yang penting dalam nikah Mut’ah adalah Waktu dan Mahar.

Sekali lagi inilah yang ditegaskan oleh imam syi’ah yang maksum :
Nikah Mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, Waktu tertentu dan Bayaran tertentu.
Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Begitu juga orang yang akan berzina dengan pelacur harus sepakat atas bayaran dan waktu, karena waktu yang lebih panjang menuntut bayaran lebih pula. Pelacur tidak akan mau melayani  ketika tidak ada kesepakatan atas bayaran dan waktu. 
Sekali lagi kita menemukan persamaan antara nikah Mut’ah dan Pelacuran.


3. Batas minimal “Mahar” nikah Mut’ah.
Dalam nikah mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam makanan berupa tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457. 

Sedangkan dalam pelacuran tidak ada batas minimal bayaran, besarnya bayaran tergantung dari beberapa hal. Kita lihat disini perbedaan antara mut’ah dan pelacuran hanya pada minimal bayaran saja, tapi baik mut’ah maupun pelacuran tetap mensyaratkan adanya bayaran. 

Banyak cerita yang kurang enak mengisahkan mereka yang berzina dengan pelacur tapi mangkir membayar.


 4. Batas waktu mut’ah
Tidak ada batasan bagi waktu nikah mut’ah, semua tergantung kesepakatan. Bahkan boleh mensepakati waktu mut’ah walau untuk sekali hubungan badan.
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut’ah? 
Apakah diperbolehkan Mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan badan? 
Jawabnya :  ya.
Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460

Begitu juga tidak ada batasan waktu bagi pelacuran, dibolehkan menyewa pelacur untuk jangka waktu sekali zina, atau untuk jangka waktu seminggu, asal kuat membayar saja. Demikian juga Nikah Mut’ah.


5. Boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.
Suami istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si istri harus menikah dengan lelaki lain. 
Tidak demikian dengan Nikah Mut’ah, orang boleh nikah Mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali, asal tidak bosan saja. Karena wanita yang dinikah secara Mut’ah pada hakekatnya sedang disewa tubuhnya oleh si laki-laki. Sama persis dengan Pelacuran.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, 
Seorang laki-laki nikah Mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa Mut’ah nya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa Mut’ah nya, lalu nikah Mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa Mut’ahnya tiga kali dan nikah Mut’ah lagi dengan 3 laki-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? 
Jawab Abu Ja’far : ya
Dibolehkan menikah Mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah adalah Wanita Sewaan, seperti Budak saja. 
Al Kafi jilid 5 hal 460

Begitu juga orang boleh berzina dengan seorang pelacur semaunya, tidak ada batasan.


6. Tidak usah bertanya menyelidiki status si Wanita
Laki-laki yang akan nikah Mut’ah tidak perlu menyelidiki status si wanita apakah dia sudah bersuami atau tidak. Begitu juga orang tidak perlu bertanya pada si pelacur apakah dia bersuami atau tidak ketika ingin berzina dengannya.
Dari Aban bin Taghlab berkata: 
Aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur. 
Jawabnya :  ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya. 
Al Kafi  . Jilid. 5 Hal. 462


7. Hubungan warisan
Nikah Mut’ah tidak menyebabkan terbentuknya hubungan warisan, artinya ketika si  “Suami” meninggal dunia pada masa mut’ah maka si  “Istri”  tidak berhak mendapat warisan dari hartanya.
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 :  
Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. 
Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 80

Begitu juga pelacur tidak akan mendapat bagian dari harta “Pasangan zina” nya yang meninggal dunia.


8. Nafkah
Istri Mut’ah yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapat nafkah, si istri Mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah disepakati sebelumnya. Bayaran dari Mut’ah sudah all in dengan nafkah, hendaknya istri Mut’ah sudah mengkalkulasi biaya hidupnya baik-baik sehingga bisa menetapkan harga yang tepat untuk Mahar Mut’ah.
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan : Masalah 256 : 
Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri Mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad Mut’ah atau akad lain yang mengikat. 
Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80.
Begitu juga laki-laki yang berzina dengan  pelacur tidak wajib memberi nafkah harian pada si pelacur. 


Sumber :  http://islampos.com/

0 comments:

Post a Comment

Udah Baca? Tinggalkan komentarmu dong di bawah sini :). Komentar yang sesuai tema artikelnya tapi ya, kami nggak mentolerir Spam. :)